Friday, January 2, 2015

SITUASI DI PURA

Sudah menjadi kebiasaan atau bisa dikatakan kewajiban umat Hindu saat hari suci maturan ke berbagai Pura. Jadi sudah menjadi pemandangan yang biasa jika di pura rame oleh pemedek. Tapi pernahkah kalian merasa risih dengan pemandangan seperti itu????
Kalau tidak, baguslah. Beberapa waktu yang lalu, saat Galungan saya ditugaskan ibu untuk maturan ke beberapa pura deket rumah. Pura pertama adalah pura banjar, di lingkungan tempat tinggal saya, namanya juga pura banjar jadi yang maturan kesana cuma orang-orang di lingkungan banjar dan tidak begitu berdesakan.
Pura kedua tempat maturan adalah Pura Bedogol, semacam Pura Subak gitu lah ,,karena dulunya kawasan tempat saya tinggal adalah persawahan. Pura ini baru saja direnovasi, sayangnya luasnya tidak berubah. Tempatnya sempit, sedangkan yang maturan rame banget,,ditambah ga ada Pemangku yang memimpin persembahyangan,,ya sudahlah ya,,jadinya ga teratur gitu deh maturannya,, ngantrenya mepet-mepet bawa banten yang pake dupa panjang-panjang,,salah bawa kecenut dupa deh. suasana saat itu sempet membuat saya agak kesel,,kayaknya cuma mereka aja yang lagi maturan,,tidak mau memberikan tempat sedikit bagi yang mau mebakti. Padahal ngantrenya bisa di luar,,tapi mereka (ibu-ibu) malah nyerobot masuk,,saya n adik yang mau mebakti jadi kesusahan gimana duduknya, ditambah waktu itu hujan,,jadi tempatnya becek. Karena mikirnya ini hari suci, biar ga percuma sembahyang, saya mencoba melegakan hati.
Berikutnya saya sembahyang ke Pura Tegeh Sari. Pemedeknya ni jauh lebih banyak,,lebih ga teratur. Lagi-lagi di pura ini ga ada Pemangku. maturan sendiri, mebakti sendiri, meketis sendiri. pokoknya semua dilakukan sendiri. Tempat naruh bantennya kecil jadi banten yang ditaruh para pemedek to terkesan metumpuk-tumpuk, ga tau yang mana baru atau asal taruh deh, yang penting sudah diunggahang. Selesai ngunggahang banten, saatnya mebakti. satu lagi adegan yang saya lihat sebelum saya mengambil sikap sempurna untuk sembahyang. Di halaman yang sama, yang mebakti duduk sempurna, yang ngunggahang banten berdiri sempurna, membelakangi mereka yang sedang mebakti. (bisa dibayangkan ga keadaannya)???
Saya pribadi merasa risih,, karena ketika sembahyang atau mebakti pikiran kita harus tenang tertuju pada Ida Sang Hyang Widhi, tapi di hadapan kita malah melihat orang yang sedang berseliweran ngaturang banten. Dan pemandangan seperti itu ruti saya lihat setiap 6 bulan sekali. saya jadi mikir sendiri, kapada siapa saya harus curhat tentang kondisi seperti itu? ya mungkin saya aja kali ya yang ngrasain kerisihan itu, jadi saya cuma bisa curhat di blog ini deh,, 

Monday, December 1, 2014

MASA PERUNDAGIAN



Dalam masa perundagian kemahiran membuat alat-alat semakin berkembang sebagai akibat dari terjadinya golongan-golongan dalam masyarakat yang bertugas khusus untuk membuat alat-alat. Kontak cultural antara satu suku atau kelompok dengan kelompok lain baik di wilayah nusantara maupun dengan bangsa-bangsa lain telah menjadikan perkembangan kebudayaan dari yang semula menggunakan peralatan dari batu mejadi menggunakan peralatan dari perunggu, seprti bejana yang terbuat dari perunggu.
Pada masa itu teknologi peningkatan pembuatan benda-benda semakin meningkat, terutaman setelah ditemukan campuran antara timah dan tembaga yang menghasilkan logam perunggu. Di Asia tenggara logam mulai dikenal kira-kira 3000-200 sebelum Masehi. Dalam penggalian di Vietnam ditemukan berbagai macam alat perunggu antara lain nekara, bejana, ujung tombak, kapak dan gelang. Benda-benda yang ditemukan ini memiliki kesamaan dengan benda yang pernah ditemukan di Cina dari masa dinasti Han, kira-kira pada awal Masehi. Di Thailand ditemukan benda-benda perunggu yang diperkirakan berumur 3000 tahun sebelum Masehi.
Di Indonesia, penggunaan logam perunggu diperkirakan bersamaan dengan perkembangan perunggu di Asia Tenggara. Berdasarkan temuan arkeologi, Indonesia mengenal peralatan dari perunggu, besi dan untuk perhiasan juga mengenal yang namanya emas. Perjalanan prasejarah di Indonesia berlangsung secara bertahap atau tidak menyeluruh. Sementara itu peralatan dari zaman sebelumnya masih ada yang diergunakan, dan berangsur-angsur ditinggalkan setelah pengetahuan tentang logam ini tersebar secara luas.
Benda perunggu yang ditemukan di Indonesia memiliki kesamaan dengan yang ditemukan di Dongson (Vietnam), baik bentuk maupun pola hiasnya. Hal ini diperkirakan adanya hubungan budaya antara yang ada di Dongson dan yang ada di Indonesia.
Cara pembuatan
Perkembangan teknologi dan kebudayaan terus berkembang, begitu juga pada zaman prasejarah. Pada zaman prasejarah terjadi beberapa kali perkembangan peradaban, dari mulai yang sederhana sampai dengan pernggunaan peralatan dari logam atau sering disebut zaman perundagian. Suatu kemahiran baru pada masa perundagian adalah kemampuan menuang peralatan dari logam. Teknik melebur logam merupakan teknik yang tinggi, karena pengetahuan semacam itu belum dikenal dalam masa sebelumnya. Logam harus dipanaskan hingga mencapai titik lebur, kemudian baru dicetak menjadi bermacam-macam jenis perkakas atau benda lain yang diperlukan. Teknik pembuatan benda perunggu ada dua macam yaitu dengan cetak setangkup (bivalve) dan cetak lilin (a cire perdue).
1.       Cetakan setangkup
Cetakan Setangkup, yaitu cara menuangkan dengan kita membuat, cetakan dari batu misalnya, yang terdiri dari dua bagian yang dapat di tangkupkan (dikatupkan) seperti kulit tiram. Teknik ini dilakukan untuk benda-benda yang tidak memiliki bagian-bagian yang menonjol. Tuangan untuk semacam ini dapat dipergunakan untuk beberapa kali.
2.       Teknik a cire perdue
Teknik a cire perdue dipergunakan untuk benda-benda yang berbentuk dengan ada bagian yang menonjol, misalnya arca, kapak perunggu. Caranya yaitu sebagai berikut:
a.       Mula-mula dibuat model benda dari lilin yang diinginkan
b.      Seluruh model dari lilin itu kemudian dilapisi dengan tanah liat yang tahan api
c.       Lapisan tanah liat di bagian atas dibuat semacam corong dan dibagian bawah diberi lubang
d.      Seluruh model yang berlapis tanah liat itu dibakar sampai lilin meleleh dan mengalir melalui saluran yang telah dibuat
e.      Dari corong tadi dituangkan cairan perunggu
f.        Setelah cairan perunggu membeku dan dingin, maka lapisan tanah liat itu padat dan pecah, sehingga kita memperoleh benda cetakan dari perunggu.
Kapak perunggu memiliki macam-macam bentuk dan ukuran. Dilihat dari penggunaannya, maka kapak perunggu dapat berfungsi dua macam yaitu:
1.       Sebagai alat upacara atau benda pusaka
2.       Sebagai perkakas atau alat untuk bekerja
Secara tipologi, kapak perunggu dapat digolongkan dalam dua golongan, yaitu kapak corong dan kapak upaca. Umumnya kapak perunggu yang terdapat di Indonesia mempunyai semacam corong untuk memasukan kayu tangkai. Oleh karena bentunya menyerupai kaki yang bersepatu, maka dinamakan “kapak sepatu”. Namun lebih tepatnya disebut kapak corong.
Berdasarkan hasil temuan, kapak perunggu ternyata ada yang memiliki hiasan dan ada yang tidak memiliki hiasan. Adapun daerah penemuan dari kapak perunggu adalah Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Bali, Flores, Pulau Roti, dan Papua dekat danau Sentani.
Untuk membuat peralatan logam, ternyata tidak semudah yang kita pikirkan, karena mereka harus membuat berbagai campuran seperti Tembaga, Timah Hitam dan Timah Putih. Dalam membuat bejana perunggu seorang ahli harus mencampurkan, ketiga bahan tersebuat dengan kadar ketentuan tertentu; sebagai contoh untuk membuat bejana perunggu Asemjaran (Madura) memerlukan 63,40% Tembaga, 2,83 % Timah Hitam, dan 15,20 % Timah Putih. Ketiga benda ini dilebut menjadi satu sehingga menghasilkan cairan logam yang siap dibentuk sesuai dengan tujuannya.
Penemuan Bejana Perunggu
Bejana Perunggu, ditemukan di Indonesia hanya dua buah , yaitu di Sumatra dan Madura. Bejana perunggu berbentuk bulat panjang seperti kepisi atau keranjang untuk tempat ikan yang diikatkan di pinggang ketika orang sedang mencari ikan. Bejana ini dibuat dari dua lempengan perunggu yang cembung, yang diletakan dengan pacuk besi pada sisi-sisinya. Pola hias pada bejana ini tidak tidak sama susunannya. Bejana yang ditemukan di Kerinci (Sumatra) berukuran panjang 50,8 cm dengan lebar 37 cm. Sebagian lehernya sudah hilang. Bagian leher ini dihias dengan huruf J dan pola anyaman. Pola huruf S terdapat di bagian tengah badan. Di bagian leher tampak logam berlekuk yang mungkin dipergunakan untuk menggantungkan bejana pada tali.

Bejana perunggu dari Asemjaran, Madura Jawa Timur
Bejana yang ditemukan di Asemjarang, Sampang (Madura) mempunyai ukuran tinggi 90 cm dan lebar 54 cm. Hiasan pada bagian leher terbagi atas tiga ruangan, yaitu ruang pertama berisi lima buah tumpal berderet dan di dalam pola ini terdapat gambar burung merak; ruang kedua berisi huruf J yang disusun berselang-seling tegak dan terbalik; dan ruang ketiga juga berisi pola tumpal sederet sebanyak empat buah. Di dalam pola tumpal terdapat gambar seekor kijang. Bagian badan bejana dihias dengan pola hias spiral yang utuh dan terpotong, dan sepajang tepinya dihias dengan tumpal. Sepasang pegangan dihias dengan pola tali. Latar belakang hiasan dan pola tumpal ialah dengan titik-titik dan di dalam ruang-ruang dengan pola spiral diisi dengan pola anyaman halus. Bejana ini mirip dengan bejana yang ditemukan di Phnom Penh (Khamer).
Bejana Perunggu dari Kerinci (Sumatera)
Kapak Makassar yang sangat besar dapat juga dianggap sebagai bejana. Bidang lehernya dihias dengan pola geometris berupa garis-garis spiral yang mengapit pola hias topeng dan pola hias tumpal. Bidang lainnya dileher memperlihatkan pola sepasang mata yang bersusun sebagai pola hias utama. Bagian badannya dihias, hanya bagian tepinya terdapat hiasan pola duri ikan. Bagian bawah menonjol, yang sebenarnya merupakan sisa (lidah) tuangan, sebagai penyangga kalau benda ini diletakan berdiri. Panjang benda ini 70,5 cm lebar badan 45 cm dan lebar leher 28,8 cm. tempat penemuannya adalah Ujung Pandang (Makassar) di Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1987, Mujiono dari desa Sri Monosari, kabupaten Lampung Tengah, menemukan sebuah bejana perunggu di samping rumahnya. Menurut cerita seorang pegawai Museum Negeri Lampung yang pernah melihatnya, bejana ini baik bentuk, ukuran, maupun pola hiasnya sama dengan pola dari Phnom Penh. Sayang benda ini diambil oleh orang yang tidak bertanggung jawab, atau tidak diketahui keberadaannya untuk sekarang ini.
Tahun berikutnya Mujiono menemukan lagi sebuah bejana yang ukurannya lebih kecil. Bejana ini sekarang disimpan di Museum Negeri Lampung. Bejana ini berukuran panjang 63 cm dan lebar bagian mulut 16,5 cm. Pola hiasan berupa pola tumpal dan pola huruf J, pilin, dan jaring.

Sumber Bacaan:
Moehhadi. (1986). Sejarah Indonesia. Jakarta: Karunia Jakarta Universitas Terbuka
Poesponegoro, M.D. dkk. (2008). Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka.
Soekmono. (1990). Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 1. Kanisius


Pengertian masa perundagian adalah tahap terakhir dari masa prasejarah di Indonesia. R.P. Soejono mengartikan kata perundagian diserap dari bahasa daerah Bali yaitu undagi yang berarti individu (seseorang) atau kelompok individu yang memiliki ketrampilan atau kepandaian pada macam usaha tertentu. Contohnya adalah pahat kayu, pembuatan perahu kecil, gerabah dan alat dari batu. Selain itu pada masa ini juga ditandai dengan mulainya pembuatan alat-alat dari logam seperti dari besi, perunggu dan tembaga.
Kapak Genggam
Disebut juga dengan kapak perimbas. Alat ini berupa batu yang dibentuk menjadi semacam kapak. Teknik pembuatannya masih kasar, bagian tajam hanya pada satu sisi. Alat tersebut belum bertangkai, dan digunakan dengan cara digenggam. Tempat ditemukannya antara lain di Lahat Sumsel, Kalianda Lampung, Awangbangkal Kalsel, Cabbenge Sulsel dan trunyan Bali.
Alat Serpih
Merupakan batu pecahan sisa pembuatan kapak genggam yang dibentuk menjadi tajam. Alat tersebut berfungsi sebagai serut, gurdi, penusuk dan pisau. Tempat ditemukannya di Punung, Sangiran, dan Ngandong (lembah Sungai Bengawan Solo); Gombong Jateng; lahat; Cabbenge; dan Mengeruda Flores NTT.
Sumatralith
Nama lainnya adalah Kapak genggam Sumatera. Teknik pembuatannya lebih halus dari kapak perimbas. Bagian tajam sudah di kedua sisi. Cara menggunakannya masih digenggam. Tempat ditemukannya di Lhokseumawe Aceh dan Binjai Sumut.
Beliung persegi
Merupakan alat dengan permukaan memanjang dan berbentuk persegi empat. Seluruh permukaan alat tersebut telah digosok halus. Sisi pangkal diikat pada tangkai, sisi depan diasah sampai tajam. Beliung persegi berukuran besar berfungsi sebagai cangkul. Sedangkan yang berukuran kecil berfungsi sebagai alat pengukir rumah atau pahat. Tempat ditemukan di Sumatera, jawa, bali, Lombok dan Sulawesi.
Kapak Lonjong
Merupakan alat berbentuk lonjong. Seluruh permukaan alat tersebut telah digosok halus. Sisi pangkal agak runcing dan diikat pada tangkai. Sisi depan  lebih melebar dan diasah sampai tajam. Alat ini digunakan untuk memotong kayu dan berburu. Ditemukan di Sulawesi, Flores, Tanimbar, maluku dan papua.
Mata panah
Merupakan alat berburu yang sangat urgent. Sealin untuk berburu, mata panah digunakan untuk menangkap ikan, mata panah dibuat bergerigi. Selain terbuat dari batu, mata panah juga terbuat dari tulang. Ditemukan di Gua Lawa, Gua Gede, Gua petpuruh (Jatim), Gua Cakondo, Gua Tomatoa kacicang, Gua Saripa (sulsel).
Alat dari tanah liat
Alat dari tanah liat antara lain Gerabah, alat ini dibuat secara sederhana, tapi pada masa perundagian alat tersebut dibuat dengan teknik yang lebih maju.
Bangunan megalithik
Bangunan megalithik adalah bangunan-bangunan yang terbuat dari batu besar didirikan untuk keperluan kepercayaan.

SUSUNAN MATAHARI



M
 atahari adalah energy terbesar di bumi. Matahari juga disebut sebagai pusat peredaran tata surya dalam Galaksi Bima Sakti. Diameter matahari 109 kali diameter bumi. Jari-jari matahari  700.000 km dengan volume sebesar 1,4x1018 km3 .  Massa matahari  sebesar 1,99x1030kg sedangkan massa jenisnya ± 1,41 g/cm3. Matahari merupakan penghasil energy panas terbesar dengan suhu pusat 35 juta K dan suhu permukaan 6.000 K.
Matahari memiliki lapisan-lapisan seperti halnya bumi. Adapun lapisannya antara lain:
*      Inti Matahari
Inti merupakan lapisan terdalam dari matahari. Tempat terjadinya reaksi fusi yang menghasilkan energy matahari. Diameter inti matahari sekitar 300.000 km, massa jenisnya sekitar 150.000 kg/m. Dengan suhu mencapai 15 juta K dan menghasilkan energy sebesar 4x1026 J/s.
*      Fotosfer
Fotosfer adalah lapisan matahari yang dapat dilihat dengan mata telanjang, disebut juga lapisan cahaya. Tebal lapisan ini sekitar 400 km dengan suhu sisi luar sekitar 4.500 K dan suhu bagian dalam sekitar 10.000K.
*      Kromosfer
Kromosfer merupakan lapisan di atas lapisan fotosfer. Kromosfer membentuk bagian dalam matahari. Tebal lapisan ini antara 2.000km sampai dengan 3.000 km. Suhu bagian dasar kromosfer sekitar 5.000 K dan makin keluar suhunya makin meningkat hingga mencapai 100.000 K.
*      Korona
Merupakan lapisan matahari yang paling luar. Korona membentuk lingkaran berwarna putih keabu-abuan di sekeliling matahari, membentuk seperti mahkota. Suhu Korona mencapai 1 juta K. Korona hanya bisa dilihat saat terjadi gerhana matahari total.
*      Daerah Radiasi
Merupakan daerah tempat energy hasil reaksi nuklir di dalam inti matahari dipindahkan ke bagian luar secara radiasi. Tebal daerah ini sekitar 2.600.000 km dengan suhu antara 2juta K sampai 5 juta K. Di dalam daerah ini terdapat inti matahari sehingga suhu tertinggi berada di sisi yang bersentuhan dengan inti matahari.
*      Daerah konveksi
Daerah ini merupakan tempat energy dari daerah radiasi dipindahkan ke luar secara konveksi.

Thursday, November 27, 2014

HAKIKAT IDA SANG HYANG WIDHI



Untuk mengetahui pengetahuan tetang Tuhan, hendaknya seseorang memahami terlebih dahulu Tatwa Jnana. Hal ini penting dilakukan karena tatwa jnana merupakan sumber pengetahuan atau hakikat dari pengetahuan yang lainnya. Dengan memiliki pengetahuan tatwa jnana, seseorang paham akan terjadinya alam semesta dan cara alam berevolusi serta adanya kelahiran kembali. Hakikat yang menjadi sebab pertama yang dimaksud adalah Cetana dan Acetana.
A.      Cetana
Cetana adalah jnana, yaitu tahu dan ingat kepada kesadaran yang tidak berbalik lupa. Dalam Wrhaspati Tatwa disebutkan cetana ngaranya jnana swabhawa wruh tan keneng lupa yang artinya cetana adalah jnana yang sifatnya tahu tidak terkena lupa. Secara leksikal, jnana berarti pengetahuan terlebih pengetahuan tentang keluhuran Ida Sang Hyang Widhi Wasa, pengetahuan yang membebaskan manusia dari keterikatan. Jadi dengan kata lain kesadaran disamakan dengan pengetahuan. Menurut hakikat kesadarannya, Siwa Tatwa dibedakan menjadi tiga yaitu Paramasiwa Tatwa, Sadasiwa Tatwa, dan Atmika Tatwa.
1.      Paramasiwa Tatwa.
Dalam sifat yang Paramasiwa ini, Tuhan tidak bergerak, tidak berkembang, tanpa awal dan tanpa akhir, tanpa sebab dan tanpa tujuan, alam semesta dipenuhi olehNya, disusupi sapta bhuwana, sapta patala, tanpa aktivitas, tidak terpengaruhi
2.      Sadasiwa Tatwa
Hakikat Sadasiwa adalah berkesadaran aktif, bersifat sarwwajna yang artinya mahamengetahui dan sarwwakaryyakarta yang artinya melaksanakan setiap pekerjaan. Kedua aspek tersebut dijabarkan kembali menjadi empat yang disebut Cadu Sakti terdiri atas (1) jnana sakti artinya mahamengetahui. Dalam sifat kemahatahuan ini dibedakan pula menjadi tiga yaitu (a) duradarsana artinya melihat yang jauh dan dekat; (b) durasrawana artinya mendengar suara yang jauh dan dekat; (c) duratmaka artinya mengetahui pikiran yang jauh dan dekat. (2) Wibhu sakti artinya mahaada, mahameliputi, mahasempurna. (3) Prabhusakti artinya mahakuasa, segala yang sudah dikehendakiNya pasti akan terjadi. (4) Kriyasakti artinya mahakarya, Ialah yang menciptakan alam semesta ini.
Siwa yang beratribut serba maha ini disebut Saguna Brahman. Ia Tuhan yang dalam aspeknya sebagai bersifat(memiliki sifat).
3.      Atmika Tatwa
Kata atmika berarti terdiri atas, mempunyai sifat dasar dari, mengambil bentuk dari, perwujudan atau penjelmaan dari. Atmika  adalah kesadaran yang menyusup merasuki pada Maya Tatwa.
B.      Acetana
Acetana berarti ketidaktahuan, ketidaksadaran. Acetana inilah yang disebut Maya Tatwa, asas ketidaknyataan, Kata Maya berarti khayal, ketidaknyataan, tipuan, kecurangan. Maya Tatwa adalah asas mula yang tanpa kesadaran, setelah dipadu dengan Atmika Tatwa, Ia menjadi memiliki aktif, dan berkembang menjadi segala ciptaan. Maya Tatwa disimbolkan dengan aksara O (ongkara) atau lambang angka 3 dalam aksara Bali, itu melambangkan triguna yaitu tiga potensi materinya Maya Tatwa, Dengan demikian bila symbol-simbol tatwa tersebut disatukan terwujudlah symbol Tuhan agama Hindu yang disebut aksara Pranawa, atau Ekaksara.