Friday, November 1, 2013

SUDAHKAH KITA BERAGAMA????



Salah satu cara untuk menambah ilmu adalah mendengarkan, seperti halnya para Rsi saat beliau melakukan tapa semedi mendengar wahyu dari Ida Sang Hyang Widhi yang kemudian beliau tulis menjadi kitab-kitab suci yang penuh dengan ajaran-ajaran Tuhan. Sekiranya kita sebagai umat meneladani sikap tersebut, dengan cara mendengarkan dharma wacana oleh pedanda atau pandita, pemangku atau pinandita  maupun oleh para akademisi yang berkompeten dalam hal agama. Saat ini media televise di Bali telah memiliki program dharma wacana yang ditayangkan setiap hari sehingga kita tidak harus menunggu upacara di pura untuk bisa mendengarkan dharma wacana. Nah, artikel yang penulis buat kali ini merupakan ringkasan dari sebuah acara dharma wacana dengan narasumber seorang tokoh akademisi yang juga telah membuat berbagai artikel di beberapa majalah bahkan sudah ada yang dibukukan, beliau adalah Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. Adapun topik yang dibahas sangat menarik karena ini menyangkut, waktu yang digunakan manusia untuk melaksanakan kegiatan keagmaannya yang diidentikkan dengan orang beragama, maksudnya orang dikatakan beragama jika ia sudah menjalankan tugas atau kewajibannya akan kegiatan keagamaan, dengan judul SUDAHKAH KITA BERAGAMA?????


Pancasila sila pertama dan UUD 1945 pasal 29 dengan jelas dan tegas menyebutkan tiap warga Negara Indonesia bebas memeluk suatu agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Hal ini berarti tiap warga Indonesia memiliki satu keyakinan atau agama tertentu, tapi secara konstektual dalam kehidupan sehari-hari sudahkah benar-benar “beragama”???.
Dibalik judul tersebut ada satu uraian yang perlu dijabarkan lebih lanjut tentang beragama, yang secara moralitas mengajak kita sebagai umat beragama untuk mengevaluasi “kehidupan beragama” kita selama ini.  Untuk memahami lebih lanjut, kita uraikan terlebih dahulu kata “BER-A-GA-MA” seperti berikut,,,
BER=BERapa usiamau???
A= Apa saja yang telah kamu lakukan selama itu???
Ga= baGaimana kamu melakukannya ???
Ma=Mana buktinya???
Anda semakin tertarik????? Yuk,, lanjutkan membaca,,,
1.     Ber:berapa usiamu?

Usia yang dimaksud dalam hal ini tidak hanya usia jasmani yang mengacu pada identitas diri sesuai dengan kelahiran, namun juga usia rohani yang mengacu pada pemanfaatan waktu hidup untuk melaksanakan srdha dan bhakti kepada Ida Sang Hyang Tuduh ( tuhan).
Contoh:  berapa kali kita melaksanakan Tri Sandhya dalam sehari atau seberapa waktu yang kita gunakan untuk melaksanakan kewajiban  bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi. Perhitungan begini, Tri sandhya dilakukan sebanyak tiga kali dengan durasi waktu 10 menit, yang artinya usia rohani kita Cuma 10 menit, bandingkan dengan waktu sehari 24 jam belum dipotong untuk makan, tidur, dan yang lainnya.  Jika dihitung selama sebulan maka
30 hari x 10 menit= 300 menit.
300 menit:60 menit= 5 jam per bulan. Kalau 5 jam x 12 bulan= 60 jam dibagi 24 jam, maka selama setahun usia kita hanya 2,5 hari . Apabila seseorang berusia 50 tahun hanya dikalikan 2,5 hari = 125 hari= 0,3 tahun dalam usia setengah abad. Penghitungan model begini yang membuat usia rohani termasuk jika ditambahkan dengan penggunaan waktu untuk melakukan hal-hal terbaik untuk orang lain, akan menghasilkan kalkulasi angka waktu yang lebih sedikit atau pendek diabndingkan usia fisik.





2.    A:apa yang kamu lakukan?
Mengenai apa saja yang sudah dilakukan selama itu, hanya Anda yang tau, hal-hal baik apa yang sudah Anda lakukan  terutama yang termasuk rentang kategori sebagai sebuah usaha untuk meningkatkan kualitas sradha dan bhakti kehadapan Sang Hyang Parama Kawi, ditambah implementasinya dalam kontek kehidupan bermasyarakat juga dengan lingkungan sebagai realisasi pelaksanaan Tri Hita Karana yang memiliki 3 dimensi yaitu BTE, Bhakti( vertical ke atas,  hubungan dengan Tuhan), Tresna(horizontal-skala), Eling( vertical kebawah )

3.    Ga:baGaimana melakukannya??
Tentunya dalam melaksanakan kegiatan bhakti srdha tersebut yang perlu diperhatikan adalah ketulusan untuk menjalaninya tanpa mengharapkan imbalan secara berlebihan, terlepas dari sebuah kewajiban untuk melaksanakan hal-hal baik atau sedha dan bhakti, kita melakukan hal tersebut sebagai bentuk kesadaran atau sebagai sebuah upaya dalam mencari kesadaran bahwa alam semesta, termasuk diri kita adalah percikan dari Maya-nya, yang karena awidya kita tidak mengetahui hal tersebut.

4.    Ma:mana buktinya?
Hidup beragama bukan hanya sebatas pada teori, tetapi lebih menekankan pada pembuktian dalam praktikyang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain, apalagi ajaran agama Hindu mementingkan Karma dari pada sekadar berwacana.

Bagaimana?? Bisakah Anda menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terlihat kecil dan mudah untuk dijawab, namun jika dicermati lagi dalam menjawabnya kita belajar untuk memperbaiki diri atau instropeksi agar dalam sisa waktu hidup ini kita dapat meningkatkan kualitas sradha dan bhakti kita,,,

Selain hal di atas, terkadang sering muncul pertanyaan saat melihat berbagai kejadian yang mengatasnamakan agama yang berujung pada tindakan anarkis, atau terjadinya bentrokan antara dua kelompok pemuda, warga desa, hingga ormas yang mengaku sebagai pelindung keamanan tetapi malah membuat warga merasa tidak aman. Bagaimana mungkin hal tersebut masih bisa terjadi padahal memeluk agama yang sama?? Istilah bali yang sering diucapkan padahal ajak “nyama pedidi” ini mengesankan bahwa agama hanya sebagai formalitas karena tidak diikuti dengan meningkatnya sisi moralitas, mentalitas dan spiritualitas umatnya.

Harus diakui bahwa kecenderungan kehidupan beragama manusia zaman sekarang berada pada peradaban kontempore yang semakin sekuler. Ajaran agama yang mengajak, menuntun umat untuk lebih menenkankan pada pedalaman ajaranb agama, ternyata lebih menggairahkanb sisi=sisi penampilan bahkan termasuk dalam urusan meyadnyayang cenderung bersifat ritualistic ekspresif simbolik. Sementara sisi-sisi impresif kontemplatif dan spiritualistic justru semakin menurun. Sehingga jangan heran semisal dalam melaksanakan ritual yadnya yang disebut-sebut menghabiskan banyak biaya pada tataran sosio kemasyarakatn sering bermunculan berbagai masalah seperti iri hati kepada saudara, tetangga yang berimpilkasi pada terjadinya perpecahan, seakan semua tatanan konsep yang begitu ideal terpental ketika harus membumi dengan tataran kontekstual.

Oleh sebab itu, mari gunakan sisa usia ini untuk meningkatkan sradha bhakti kita, sementara usia fisik dan usia rohani tidak dapat berjalan beriringan, sebab sangat tergantung pada kehendak diri kita,  dengan mengingat bunyi Sarasamusccaya  sloka 6 dan 8 yang terjemahan bebasnya seperti ini

“ Tujuan terpenting gunakan sebaik-baiknya kesempatan lahir menjadi manusia ini sungguh sulit diperolehnya, laksana tangga menuju sorga, segala yang menyebabkan tidak akan jatuh lagi itu hendaknya supaya dipegang”

“ Menjelma menjadi manusia itu sebentar sifatnya, tak beda dengan kerdipan petir. Karenanya pergunakan itu untuk melakukan dharma sadhana yang menyebabkan musnahnya penderitaan, surgalah pahalanya itu”.


No comments: