Salah satu cara untuk menambah
ilmu adalah mendengarkan, seperti halnya para Rsi saat beliau melakukan tapa
semedi mendengar wahyu dari Ida Sang Hyang Widhi yang kemudian beliau tulis
menjadi kitab-kitab suci yang penuh dengan ajaran-ajaran Tuhan. Sekiranya kita
sebagai umat meneladani sikap tersebut, dengan cara mendengarkan dharma wacana
oleh pedanda atau pandita, pemangku atau pinandita maupun oleh para akademisi yang berkompeten
dalam hal agama. Saat ini media televise di Bali telah memiliki program dharma
wacana yang ditayangkan setiap hari sehingga kita tidak harus menunggu upacara
di pura untuk bisa mendengarkan dharma wacana. Nah, artikel yang penulis buat
kali ini merupakan ringkasan dari sebuah acara dharma wacana dengan narasumber
seorang tokoh akademisi yang juga telah membuat berbagai artikel di beberapa
majalah bahkan sudah ada yang dibukukan, beliau adalah Drs. I Gusti Ketut
Widana, M.Si. Adapun topik yang dibahas sangat menarik karena ini menyangkut,
waktu yang digunakan manusia untuk melaksanakan kegiatan keagmaannya yang
diidentikkan dengan orang beragama, maksudnya orang dikatakan beragama jika ia
sudah menjalankan tugas atau kewajibannya akan kegiatan keagamaan, dengan judul
SUDAHKAH KITA BERAGAMA?????
Pancasila sila pertama dan UUD
1945 pasal 29 dengan jelas dan tegas menyebutkan tiap warga Negara Indonesia
bebas memeluk suatu agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan
masing-masing. Hal ini berarti tiap warga Indonesia memiliki satu keyakinan
atau agama tertentu, tapi secara konstektual dalam kehidupan sehari-hari
sudahkah benar-benar “beragama”???.
Dibalik judul tersebut ada satu
uraian yang perlu dijabarkan lebih lanjut tentang beragama, yang secara
moralitas mengajak kita sebagai umat beragama untuk mengevaluasi “kehidupan
beragama” kita selama ini. Untuk memahami
lebih lanjut, kita uraikan terlebih dahulu kata “BER-A-GA-MA” seperti
berikut,,,
BER=BERapa usiamau???
A= Apa saja yang telah kamu
lakukan selama itu???
Ga= baGaimana kamu melakukannya
???
Ma=Mana buktinya???
Anda semakin tertarik????? Yuk,,
lanjutkan membaca,,,
1. Ber:berapa
usiamu?
Usia yang
dimaksud dalam hal ini tidak hanya usia jasmani yang mengacu pada identitas
diri sesuai dengan kelahiran, namun juga usia rohani yang mengacu pada
pemanfaatan waktu hidup untuk melaksanakan srdha dan bhakti kepada Ida Sang
Hyang Tuduh ( tuhan).
Contoh: berapa kali kita melaksanakan Tri Sandhya
dalam sehari atau seberapa waktu yang kita gunakan untuk melaksanakan
kewajiban bhakti kepada Ida Sang Hyang
Widhi. Perhitungan begini, Tri sandhya dilakukan sebanyak tiga kali dengan
durasi waktu 10 menit, yang artinya usia rohani kita Cuma 10 menit, bandingkan
dengan waktu sehari 24 jam belum dipotong untuk makan, tidur, dan yang
lainnya. Jika dihitung selama sebulan
maka
30 hari x
10 menit= 300 menit.
300
menit:60 menit= 5 jam per bulan. Kalau 5 jam x 12 bulan= 60 jam dibagi 24 jam,
maka selama setahun usia kita hanya 2,5 hari . Apabila seseorang berusia 50
tahun hanya dikalikan 2,5 hari = 125 hari= 0,3 tahun dalam usia setengah abad.
Penghitungan model begini yang membuat usia rohani termasuk jika ditambahkan
dengan penggunaan waktu untuk melakukan hal-hal terbaik untuk orang lain, akan
menghasilkan kalkulasi angka waktu yang lebih sedikit atau pendek diabndingkan
usia fisik.
2. A:apa
yang kamu lakukan?
Mengenai apa
saja yang sudah dilakukan selama itu, hanya Anda yang tau, hal-hal baik apa
yang sudah Anda lakukan terutama yang
termasuk rentang kategori sebagai sebuah usaha untuk meningkatkan kualitas
sradha dan bhakti kehadapan Sang Hyang Parama Kawi, ditambah implementasinya
dalam kontek kehidupan bermasyarakat juga dengan lingkungan sebagai realisasi
pelaksanaan Tri Hita Karana yang memiliki 3 dimensi yaitu BTE, Bhakti( vertical
ke atas, hubungan dengan Tuhan), Tresna(horizontal-skala),
Eling( vertical kebawah )
3. Ga:baGaimana
melakukannya??
Tentunya
dalam melaksanakan kegiatan bhakti srdha tersebut yang perlu diperhatikan
adalah ketulusan untuk menjalaninya tanpa mengharapkan imbalan secara
berlebihan, terlepas dari sebuah kewajiban untuk melaksanakan hal-hal baik atau
sedha dan bhakti, kita melakukan hal tersebut sebagai bentuk kesadaran atau
sebagai sebuah upaya dalam mencari kesadaran bahwa alam semesta, termasuk diri
kita adalah percikan dari Maya-nya, yang karena awidya kita tidak mengetahui
hal tersebut.
4. Ma:mana
buktinya?
Hidup
beragama bukan hanya sebatas pada teori, tetapi lebih menekankan pada
pembuktian dalam praktikyang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain,
apalagi ajaran agama Hindu mementingkan Karma dari pada sekadar berwacana.
Bagaimana??
Bisakah Anda menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut terlihat kecil dan mudah untuk dijawab, namun jika dicermati lagi
dalam menjawabnya kita belajar untuk memperbaiki diri atau instropeksi agar
dalam sisa waktu hidup ini kita dapat meningkatkan kualitas sradha dan bhakti
kita,,,
Selain
hal di atas, terkadang sering muncul pertanyaan saat melihat berbagai kejadian
yang mengatasnamakan agama yang berujung pada tindakan anarkis, atau terjadinya
bentrokan antara dua kelompok pemuda, warga desa, hingga ormas yang mengaku
sebagai pelindung keamanan tetapi malah membuat warga merasa tidak aman. Bagaimana
mungkin hal tersebut masih bisa terjadi padahal memeluk agama yang sama?? Istilah
bali yang sering diucapkan padahal ajak “nyama pedidi” ini mengesankan bahwa
agama hanya sebagai formalitas karena tidak diikuti dengan meningkatnya sisi
moralitas, mentalitas dan spiritualitas umatnya.
Harus
diakui bahwa kecenderungan kehidupan beragama manusia zaman sekarang berada
pada peradaban kontempore yang semakin sekuler. Ajaran agama yang mengajak,
menuntun umat untuk lebih menenkankan pada pedalaman ajaranb agama, ternyata
lebih menggairahkanb sisi=sisi penampilan bahkan termasuk dalam urusan
meyadnyayang cenderung bersifat ritualistic ekspresif simbolik. Sementara
sisi-sisi impresif kontemplatif dan spiritualistic justru semakin menurun.
Sehingga jangan heran semisal dalam melaksanakan ritual yadnya yang
disebut-sebut menghabiskan banyak biaya pada tataran sosio kemasyarakatn sering
bermunculan berbagai masalah seperti iri hati kepada saudara, tetangga yang
berimpilkasi pada terjadinya perpecahan, seakan semua tatanan konsep yang
begitu ideal terpental ketika harus membumi dengan tataran kontekstual.
Oleh
sebab itu, mari gunakan sisa usia ini untuk meningkatkan sradha bhakti kita,
sementara usia fisik dan usia rohani tidak dapat berjalan beriringan, sebab
sangat tergantung pada kehendak diri kita,
dengan mengingat bunyi Sarasamusccaya sloka 6 dan 8 yang terjemahan bebasnya seperti
ini
“ Tujuan terpenting gunakan sebaik-baiknya
kesempatan lahir menjadi manusia ini sungguh sulit diperolehnya, laksana tangga
menuju sorga, segala yang menyebabkan tidak akan jatuh lagi itu hendaknya
supaya dipegang”
“ Menjelma menjadi manusia itu sebentar
sifatnya, tak beda dengan kerdipan petir. Karenanya pergunakan itu untuk
melakukan dharma sadhana yang menyebabkan musnahnya penderitaan, surgalah
pahalanya itu”.
No comments:
Post a Comment