Thursday, October 17, 2013

DEHUMANISASI PENDIDIKAN

PENDIDIKAN SARANG DEHUMANISASI??????

Berkembangnya sekolah-sekolah dengan kategori standar internasional atau bertaraf internasional merupakan sebuah kemajuan bagi Indonesia dalam bidang pendidikan. Adanya sekolah bertaraf internasional tidak terlepas dari keinginan Indonesia untuk menunjukkan bahwa Indonesia dapat bersaing di kancah internasional. Untuk dapat disebut sebagai sekolah standar internasional sudah menjadi sebuah keharusan bagi sekolah untuk memenuhi segala syarat yang telah ditetapkan baik dari segi tenaga pendidik sampai sarana prasarana. Demi menunjang persyaratan tersebut diperlukan dana yang tidak sedikit tentunya. Dibangunnya sekolah  dan perguruan tinggi elit di Indonesia boleh jadi membanggakan karena merupakan sebuah usaha untuk menjawab tantangan dari bidang ekonomi( Buchori, 1995:54).

 
Dengan adanya label sekolah internasional semakin meningkatkan gengsi seseorang dalam memilih dan menentukan sekolah  yang tidak jarang menimbulkan segala usaha untuk dapat masuk ke sekolah tersebut selain dengan cara belajar. Adanya sekolah karena keyakinan dan kepercayaan terhadap pendidikan, di Eropa disebut school, education, andragogie dan yang lain (Gandhi, 2011).
Gandhi menyebutkan, di sekolah ini anak-anak dibimbing, dibina, dan dilatih oleh seseorang yang disebut guru untuk menjadi anak yang baik dan dapat berperan serta dalam masyarakat. Sebagai tempat pembinaan diri sekolah memiliki aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh anak didik, dengan alasan tersebut tidak jarang ada oknum guru yang melakukan tindak kekerasan meskipun tidak dengan pukulan tangan namun dengan perkataan atau ucapan yang dapat membuat seorang anak takut dan enggan untuk belajar apalagi sekolah. 

Ahmad D. Marimba dalam Gandhi (2011,62) menyatakan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian utama.. Menurut Henderson pendidikan merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik yang berlangsung sepanjang hayat. berdasarkan pengertian tersebut artinya dalam proses pendidikan ada yang dididik. dibina, dan ada yang membina. Dalam hal ini pembina, atau pendidik adalah seorang guru, seseorang yang memiliki kualifikasi untuk menjadi guru yang salah satu persyaratannya adalah merupakan lulusan dari sekolah atau pendidikan keguruan. Guru merupakan komponen utama dalam menjalankan kereta pendidikan, tanpa adanya guru, sarana prasarana, kurikulum, tidak akan mendatangkan hasil karena gurulah yang mengolah komponen lain agar dapat digunakan menjadi satu kesatuan sehingga terjadilah proses belajar. 

Tidak terkontrolnya emosi guru dalam menjalankan profesinya berdampak pada kelangsungan proses belajar mengajar di dalam kelas, ketidakseimbangan emnosi tersebut tanpa disadari berpengaruh pada psikis atau kondisi kesehatan mental siswa.  
PR yang menumpuk ditambah les belajar di luar jam sekolah juga menjadi penyebab stress bagi siswa tidak jarang siswa lebih nyaman bermain daripada belajar. Kurikulum yang selama ini digunakan disebut hanya mengutamakan perkembangan kognitifnya saja(intelektualitas) dan mengabaikan perkembang yang lain, akibatnya kepekaan sosial siswa sedikit yang ditunjukkan dengan adanya tawuran antarpelajar karena hal sepele. Kenyataan di lapangan guru lebih perhatian kepada anak-anak yang berprestasi sehingga sebagian siswa memilih untuk menjadi anak yang nakal agar mendapat perhatian guru, yang lama kelamaan menumbuhkan  suatu sikap "kecanduan" hanya untuk mendapat perhatian. 

Akibatnya pendidikan mengalami dehumanisasi dan kehilangan arah,,,

No comments: